Minggu, 28 Desember 2008

Aku Kalah

Photobucket Aiz dan Urfa

Pagi ini (28/12), bersama kakak dan empat keponakan, aku meneruskan perjalanan menuju Bandung. Setelah malam harinya sempat beristirahat di Masjid At Taubah, Jl Tol Jakarta-Cikampek Kilometer 57, Karawang.

Di dalam mobil, pembicaraan tentang segala hal terus mengalir. Tiba-tiba bahasan percakapan mengarah pada sebuah harapan yang ingin digapai kedua keponakanku. Fariz Muhammad Ishomuddin (6 tahun), siswa kelas I SDIT Ibnu Sina, Jakarta Timur, memiliki cita-cita menjadi seorang presiden dan atau penulis.

"Aku ingin melihat kemajuan rakyat," kalimat itu meluncur dari bibir tipis keponakanku, saat ditanya alasan Fariz memilih cita-cita sebagai presiden. Wow..surprise sekali mendengarnya. Tapi, hatiku tergelitik ketika ku tanya apa yang harus dilakukannya agar bisa menjadi presiden dan memajukan rakyat.

Sambil terdiam dan seolah berpikir keras, ia mengatakan, "Nanti aja kalau udah gede, baru aku tau bisa nglakuin apa." Mobil terus melaju pada kecepatan sekitar 80 kilometer per jam. Kali ini aku bertanya kepada salah satu keponakanku yang lainnya, Urfa Syahidah Ayaturrahman (11).

Keponakanku yang satu ini, hobi membaca dan menulis. Gadis cilik nan manis dan selalu berjilbab juga siswi SDIT Ibnu Sina dan telah duduk di bangku kelas V. Tak kaget, dengan hobinya itu, ia memiliki keinginan besar menjadi penulis cilik. Tapi ternyata dugaan ku selama ini meleset.

Urfa tak hanya memiliki asa menjadi seorang penulis. Ia memiliki tiga cita-cita sekaligus. Selain menjadi pengarang buku, Urfa ingin sekali bisa menjadi dokter dan presiden. Katanya, ingin menolong banyak orang dan mampu bermanfaat bagi sesama. Lantas, apa alasannya memilih ingin menjadi presiden?

Menjawab pertanyaan dariku, spontan Urfa mengatakan, "Ingin memajukan rakyat Indonesia. Dari segi ekonomi, pembangunan, sosial, budaya." Aku kembali bertanya, lah.. memang sekarang kondisinya belum baik?

Ia tersenyum dan menjawab, "Ingin lebih baik dari sekarang. Kalau ku lihat banyak jalan-jalan di Jakarta yang berlubang. Orang-orang miskin masih banyak juga," katanya dengan sorot mata yang tajam, plus memasang mimik wajah serius.

Kami masih berada di dalam mobil. Tepatnya di daerah Tol Cipularang. Belum sempat ku menanyakan lebih lanjut apa langkah yang ingin ditempuh untuk menggapai cita-cita mulia itu, Urfa, keponakanku yang imut tersebut sudah terjebak dalam kantuknya. Tak tega, ku biarkan ia melepas rindu untuk bertemu mimpi-mimpi indahnya.

Tapi, aku sendiri justru belum mampu memejamkan mata ini. Kendati malam harinya aku begadang, kedua bola mataku tak jua terpejam. Hatiku berkecamuk, otakku berpikir keras, dan harus ku akui, "Aku kalah." Betul, aku kalah namun sekaligus bangga mendengar asa kedua keponakanku yang terbilang cerdas.

Sedari kecil hingga saat ini, aku tak pernah memiliki cita-cita menjadi presiden atau dokter. Tak tau apa alasannya, tapi itulah kenyataannya. Sejak duduk di bangku kelas IV SD, ada dua cita-cita besar yang ingin ku gapai. Yakni menjadi seorang Jurnalis dan wafat bi khusnul khatimah, mati Syahid fii sabilillah atau meninggal dalam membela agama Allah. Dimana pun, kapan pun.

Satu cita-cita telah ku raih. Merasakan belajar menjadi wartawan harian nasional di Jakarta. Tapi, hanya wartawan, bukan presiden. "Aku kalah. Kalah tak seperti asa besar Urfa dan Fariz," batinku. Tak mengapa, kali ini aku tak ingin kalah lagi, tak ingin kalah. Aku harus membantu mewujudkan cita-cita mereka, apa pun caranya selama masih dalam batas norma agama dan hukum.

Jika aku tak mampu melakukannya, berarti aku kalah lagi. Ya Allah, mohon wujudkanlah cita-cita mulia mereka. Mudahkanlah jalan bagi mereka untuk mendapatkan keinginannya. Keinginan yang sangat kecil bila dibandingkan dengan kekuasaan-Mu.

Ya Rabbul Hakim, aku memiliki keyakinan besar. Dengan segala rahmat, kasih sayang, dan segala kebesaran-Mu, suatu saat keinginan mulia keponakanku tercinta, akan Engkau kabulkan. Ya Allah bimbinglah calon presiden kami mewujudkan masyarakat madani yang Engkau ridhoi. Amin Ya Mujibassaillin. Wallahu a'alam bishawab

Dalam menahan kantuk menuju Bandung.
Ahad pagi, empat hari lagi menjelang awal tahun 2009.

Selasa, 02 Desember 2008

Rumahku, surgaku.